Beberapa tahun lalu sempat viral di dunia maya seorang ibu yang bermasalah dengan petugas bank emok. Di dalam Video terlihat ibu–ibu yang sedang berkumpul teratur untuk membayar angsuran ketika salah satu mereka tiba-tiba histeris saat ditagih. Ibu yang rupanya tidak dapat membayar cicilan karena memiliki masalah keuangan tersebut, mengekspresikan kemarahannya dengan berteriak dan berguling-guling di depan petugas dan anggota kelompok lainnya.
Video itupun lantas mengungkit kembali kontroversi tentang bank emok. Bank emok dianggap sebagai bentuk kegiatan rentenir yang beroperasi secara tidak resmi yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat kecil. Saking dianggap merugikan, di beberapa tempat bahkan terdapat larangan kegiatan bank emok.
Apa sebenarnya bank emok? Apakah memang kegiatannya sama dengan kegiatan rentenir? Apakah memang perlu ada larangan secara resmi?
Bank emok adalah istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan kegiatan simpan pinjam yang ditawarkan kepada ibu-ibu secara berkelompok di mana tagihan di lakukan di dalam perkumpulan (biasanya mingguan). Ketika berkumpul biasanya ibu-ibu bersimpuh sembari melipat kaki ke belakang, yang di Jawa Barat disebut emok (sehingga muncullah istilah bank emok).
Berbeda dengan pendapat umum di masyarakat, kegiatan bank emok sesungguhnya merupakan produk simpan pinjam dari lembaga keuangan resmi. Tidak hanya oleh lembaga keuangan berbadan hukum koperasi tetapi juga modal ventura dan bahkan bank, baik BPR maupun bank besar skala nasional.
Produk pinjaman kelompok merupakan strategi lembaga keuangan yang ingin menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemudahan berupa pinjaman tanpa agunan dan dengan persyaratan sangat mudah (hanya foto copy KTP). Berbeda dengan layanan keuangan pada umumnya, pinjaman kelompok ditawarkan sebagai layanan doorstep di mana nasabah/anggota tidak diharuskan datang ke kantor layanan melainkan petugas yang melayani langsung dari rumah ke rumah. Layanan ini dilakukan bahkan di daerah-daerah terpencil yang biasanya tidak dilayani oleh bentuk layanan keuangan konvensional.
Kegiatan yang sarat dengan misi sosial ini tentunya dilakukan bukan dengan mengorbankan resiko keberlangsungan lembaga. Pinjaman yang dilakukan secara berkelompok merupakan salah satu cara mengurangi resiko gagal bayar. Anggota diwajibkan memilih sesama anggota kelompok yang memiliki karakter yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab dalam mengembalikan pinjaman. Ketika salah satu anggota tidak mencicil (yang bisa saja terjadi dalam keadaan darurat), maka anggota yang lain wajib memenuhi cicilan secara tanggung renteng. Riset di Koperasi TLM di NTT menunjukkan bahwa kegiatan merenteng ini dipandang anggota sebagai cara untuk saling membantu rekan yang kesulitan.
Untuk menutupi biaya operasional yang besar, lembaga yang menjalankan produk pinjaman kelompok mengenakan bunga sekitar 2% per bulan. Anggota yang bergabung biasanya tidak keberatan karena pinjaman dianggap sangat memudahkan. Dan jumlah ini jauh lebih rendah dari bunga yang dikenakan rentenir.
Sejarah pinjaman kelompok di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1950an, salah satunya oleh Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati). Pinjaman kelompok ini konon adalah salah satu yang telah menginspirasi Profesor Muhammad Yunus ketika mendirikan Grameen Bank di Bangladesh. Keberhasilan Grameen Bank kemudian diakui dunia dengan penganugrahan Nobel Prize di tahun 2006 dan pinjaman kelompokpun direplikasi di berbagai negara untuk menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
pertDi Indonesia kegiatan pinjaman kelompok telah berkembang luas dan bahkan diakui oleh Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusi (S-DNKI) sebagai salah satu program pengentasan kemiskinan. Berikut adalah beberapa contoh lembaga-lembaga yang memiliki produk pinjaman kelompok, beserta jumlah nasabah/anggota:
Institusi | Jumlah nasabah/anggota* |
PNM Mekaar | 12.800.000 |
Bank BTPN Syariah | 4.250.000 |
Bina Artha Ventura (BAV) | 481.689 |
Mitra Bisnis Keluarga (MBK) Ventura | 1.532.727 |
Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA) | 834.717 |
Koperasi Tanaoba Lais Manekat (TLM) | 158.000 |
*Sumber:
https://www.btpnsyariah.com/documents/20182/21371/BTPN+Syariah+AR+2021+-+ENG+2.pdf/e455f113-0455-4332-a964-5344e2ee49ce;
https://bina-artha.com/id/about-us/;
https://www.mbk-ventura.com/index.php?ind;
https://mitradhuafa.com/tentang-kami.;
http://tlmfoundation.or.id/id/proyek-kami/keuangan-mikro-2
Pinjaman kelompok umumnya diberikan utamanya sebagai pinjaman produktif untuk modal usaha. Beberapa lembaga memberikan juga pinjaman non-usaha (seperti untuk air dan sanitasi, pendidikan, dan renovasi rumah) bagi anggota/nasabah yang telah memiliki track record pinjaman usaha yang baik.
Masalahnya, karena kemudahan meminjam di pinjaman kelompok, terjadi kelalaian di masyarakat, dimana pinjaman tidak lagi digunakan untuk tujuan produktif. Dan karena tergesa-gesa anggota juga teledor dalam menseleksi rekan sesama kelompok. Selain itu terdapat praktek meminjam secara berlebih (overindebtedness) di mana nasabah/anggota meminjam di lebih dari satu lembaga, tanpa memperhitungkan kemampuan membayar. Di pihak lain, karena pinjaman kelompok umumnya tidak masuk di dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), lembaga peminjam biasanya tidak dapat melacak pinjaman calon debitur yang umumnya dilakukan untuk pinjaman perorangan.
Untuk memaksimalkan manfaat pinjaman kelompok, perlu adanya disiplin dari pihak peminjam dan pemberi pinjaman. Pinjaman yang digunakan untuk tujuan produktif dan dalam jumlah sesuai kemampuan akan sangat membantu mereka yang membutuhkan. Sesungguhnya produk ini dapat menjaga mereka dari rentenir, dan mengakses layanan keuangan formil yang sekaligus meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
Oleh Widiya Susanti (Senior Researcher RISE Indonesia)